(Opini terhadap pembangunan mall di Bogor)
Oleh : Hasbulloh
Dalam hal ini penulis menyoroti arah kebijakan pembangunan di Bogor, terutama pembanguan mall dan pusat perbelanjaan yang smemakin marak. Setelah sekian tahun penulis tinggal di Bogor, ternyata telah banyak sekali perubahan yang dianggap sebagai pembangunan padahal merupakan penggusuran rakyat kecil.
Perkembangan Pembangunan Mall
Pada beberapa dekade terakhir, Bogor mengalami pertumbuhan yang pesat, selain menjadi penyangga Ibu Kota, secara historis Bogor telah menjadi menjadi tujuan wisata yang sejuk, nyaman dan indah dibandingkan dengan kota-kota lainnya itu karena adanya Kebun Raya Bogor, kawasan wisata puncak, Taman Safari Indonesia, dll. Selain tempat rekreasi, juga merupakan sentra penelitian bagi para ilmuwan lokal maupun manca Negara, terlihat dengan adanay pusat-pusat penelitian dan museum. Perkembangan akhir ini, dibangunnya pusat perdagangan dan perbelanjaan yang berkonsep mall atau plaza bahkan hypermarket. Hal ini terlihat dengan dibangunnya beberapa mall yang berskala besar sepanjang jalan protokol seperti, Ekaloka sari, Bogor Trade Mall (BTM) dan dalam tahap penyelesaian yaitu Bogor City Ceneter (BCC) dll.. Dari berbagai permasalahan pembangunan mall, tentu ada beberapa hal menarik yang memerlukan perhatian, setidaknya menjadi perhatian penulis. Pembangunan Bogor Trade Mall mislanya, yang sebelumnya merupakan sentra pasar tradisional dan pusat pencaharian masyarakat asli Bogor, ternyata para pedagang dengan serta merta dipindahkan ke tempat pinggiran yang belum tentu orang mau untuk berbelanja ke tempat itu karena tempatnya yang kurang strategis. Kemudian Pembangunan Bogor City Cenetr (BCC) mungkin visinya menjadi mall terdepan di Kota Bogor, karena memang letak yang paling depan dan dekat dengan terminal Baranang Siang dan Kebun Raya Bogor. Padahal pembangunan dan perluasan BCC ini melanggar Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Bogor, karena di dalam RTRW bahwa area yang dipakai perluasan BCC itu diperuntukkan sebagai sarana pendidikan dan bukan sebagai sarana bisnis.
Banyaknya pusat perbelanjaan memberikan alternatif yang lebih banyak bagi masyarakat dalam berbelanja ataupun berdagang. Namun, berbagai persoalan pun kemudian muncul. Apakah dengan dibangunnya mall memberikan kesempatan kepada pedagang lokal ataupun masyarakat pribumi yang notabene rakyat kecil untuk mendapatkan lahan berdagang yang lebih baik? Apakah benar kemacetan selalu diidentikkan dengan ketidakdisiplinan sopir angkot? Apakah perkembangan pusta-pusat perbelanjaan tersebut konsisten dengan daya dukung kota dan daya beli masyarakat bogor?
Akibatnya Pada Pasar Tradisional.
Banyaknya pembangunan mall perlu diimbangi dengan perlindungan pemerintah kepada para pedagang pasar tradisional. Sebab, pedagang kecil semakin terancam oleh mall, karena mereka (mall) menawarkan barang kebutuhan dengan cara ritel dengan harga murah juga lengkap dengan banyak varian. Selain itu, suasana nyaman dan bersih tentu saja menggeser minat orang terhadap pasar tradisional yang becek (wet market) dan pengap. Oleh karena itu, perlu penguatan dan perlindungan terhadap aktivitas niaga perdagangan kecil pasar tradisional
Pengusaha-pengusaha kecil termasuk home industry harus berpontang-panting bersaing dengan produk luar negeri yang banyak dijajakan di mall. Lama kelamaan, usaha ini akan kembang kempis dan akan hancur. Rakyat kecil (PKL, pedagang asongan, pengamen, dll) akan mulai tersingkirkan.
Selain permasalahan mata pencaharian tersebut, dari segi budaya, dengan adanya pengembangan mall dan tergusurnya pasar tradisional, maka terkikisnya budaya lokal yaitu hubungan sosial berupa relasi antar manusia ; antar penjual dan pembeli. Hubungan sperti ini tidak terjadi di mall, yang terjadi hanyalah hubungan yang sifatnya ekonomis dan komersil sehingga melahirkan relasi manusia yang anonym.
Bertambahnya titik Kemacetan
Sudah menjadi “slogan” bahwa kota Bogor adalah kota termacet dan kota sejuta angkot, tentunya kaitannya dengan pembangunan mall, maka tempat-tempat pemberhentian angkot akan semakin bertambah.
Kemacetan jangan selalu diidentikkan dengan ketidakdisiplinan sopir angkot, sebenarnya titik-titik pemberhentian yang terlalu banyak tanpa dipertimbangkan jaraknya dengan adanya pembangunan mall, maka ini akan menambah intensitas kemacetan. Contohnya depan mall ekalokasari (sukasari), sentra tas (tajur), Pasar Bogor yang berdekatan dengan pintu masuk utama kebun raya, BTM yang berdekatan dengan transit angkot, BCC yang belum rampung hanya berjarak beberapa meter dengan terminal baranang siang dan pintu masuk Kebun Raya.
Pembenahan masalah transportasi sangat berkaitan erat dengan kenyamanan masyarakat, baik para pengunjung mall maupun pengguna jalan secara umum.
Berkurangnya Fasilitas Publik.
Aapabila pembangunan itu dilakukan pada fasilitas yang biasanya dipakai untuk publik, maka tentunya akan mengurangi keberadaan fasilitas publik yang sudah bertahun-rahun dipergunakan. Dan ini jangan sampai hanya didasarkan pada permasalahan bisnis semata.
Banyak mall yang didirikan di lahan hijau ataupun fasilitas publik yang hijau bahkan yang seharusnya diperuntukkan sebagai wilayah atau saran pendidikan dirubah menjadi mall. Sehingga melahirkan dampak ekologis dan sosiologis bahkan tidak ramah lingkungan terlebih lagi seharusnya ada konversi lahan hijau untuk mengganti lahan yang digunakan sebagai bangunan mall.
Perbandingan Dengan Daya Beli Masyarakat.
Kalau pembangunan mall dan pusat-pusat perbelanjaan dibangun hanya atas dasar bisnis dan kepentingan ekonomi sesaat tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat setempat, tentunya ini sudah secara tidak langsung meminggirkan masyarakat setempat Karen tidak mampu membeli barang-barang yang dijajakan oleh mall yang notabene harganya tinggi dan tidak terjangkau oleh masayarakat setempat.
Kebijakan dan Kontrol Yang Tidak Ketat.
Dari permasalahan di atas, sebenarnya ada titik sentral yang memang secara langsung bertanggungjawab atas permasalahan tersebut yaitu pemerintah Daerah, karena pemkot memiliki peran dan kewenangan dalam memberikan perizinan, oleh karena itu pemkot harus melakukan suatu tindakan yang bisa menimbulkan sinergi untuk perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Jangan sampai menjamurnya mall-mall hanya sekedar menjadi monument tanpa sejarah. bahkan monument yang bersejarah pun tak diurus dan terbengkalai.
Dalam pembangunan kota harus dibuat suatu tata aturan yang paten untuk jangka waktu lama dan hal tersebut harus benar-benar ditaati oleh para pemegang kebijakan di pemkot, jangan hanya karena tawaran finansial yang kesejahteraannya belum tentu dinikmati oleh masyarakat setempat dengan serta merta diambil sebagai sebuah proyek pembangunan. Secara tidak langsung, pemerintah menekan terhadap system ekonomi kerakyatan. Dan mengembangkan kapitalisasi pada perekonomian rakyat.
Selain pemerintah daerah yang seakan tidak konsisten menjalankan konsep tata kota yang telah digariskan sebelumnya, kurangnya kontrol dari para wakil rakyat yang seharusnya membela kepentingan rakyat seharusnya menjadi sorotan. Dari berbagai permasalah pembangunan yang keluar dari jalur Rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) terlihat dibiarkan.
Perlu diingat bahwa ukuran kemajuan suatu kota tidak bisa diukur hanya melalui banyaknya bangunan fisik. Kemajuan suatu kota ditentukan oleh masyarakatnya yang berpola fakir mapan, egaliter dan madani, makanya rasio pembangunan fisik harus selaras dengan ruang hijau terbuka yang sangat dibutuhkan masyarakat. Tidak perlu terlalu banyak mall dan pusat perbelanjaan kalau memang akhirnya menimbulkan berbagai macam permasalahan jangka panjang. Jangan sampai manusia-manusia pembangunan sekarang tergila-gila dengan bangunan-bangunan mewah, mulai dari mall, pusat perbelanjaan ataupun lainnya.