Jumat, 07 Desember 2007

Ekonomi Kerakyatan

PENGEMBANGAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH UNTUK MEMBANGUN EKONOMI KERAKYATAN

Oleh : Hasbulloh

Disusun pada saat mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah Tahun 2007 tingkat Universitas Pakuan dan meraih juara pertama

PENDAHULUAN

Usaha mikro kecil menengah dan koperasi (UMKMK) sebenarnya telah cukup berjasa menjadi salah satu penyelamat ketika ekonomi Indonesia berada pada titik nadzir krisis akhir dekade lalu.

Selama 2003, Usaha Kecil dan Menengah (UKM) serta Koperasi menyumbang total Produk Dometik Bruto (PDB) sebesar 56,7 persen atau senilai Rp. 1,013 trilliun.( TEMPO Interaktif 23/09/2004)

Pada tahun 2004 jumlah koperasi mencapai 130.730 unit, naik sebesar 6,13 % dari posisi tahun 2003 yang hanya 123.181 unit. Jumlah anggota mengalami kenaikan sebesar 0,88 % dari 27.282.658 orang menjadi 27.523.053 orang. Sedangkan pada modal usaha meningkat dari Rp. 24,3 triliun menjadi Rp. 28,9 triliun yang berimbas langsung pada peningkatan volume usaha dari Rp. 31,6 triliun menjadi Rp. 37,6 triliun. Yang kesemuanya itu berujung pada peningkatan sisa hasil usaha dari Rp. 1,9 triliun pada tahun 2003 menjadi Rp. 2,2 triliun tahun 2004.

Selain itu, pada tahun 2006 kemarin, pelaku UKM berjumlah sekitar 44,6 juta unit atau sekitar 99,9 persen dari jumlah pelaku usaha di Indonesia dan mampu menyerap tenaga kerja sebesar 96,77 persen dan menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 54,2 persen

Koperasi adalah institusi (lembaga) yang tumbuh atas dasar solidaritas tradisional dan kerjasama antar individu, yang pernah berkembang sejak awal sejarah manusia sampai pada awal “Revolusi Industri” di Eropa pada akhir abad 18 dan selama abad 19, sering disebut sebagai Koperasi Historis atau Koperasi Pra-Industri. Koperasi Modern didirikan pada akhir abad 18, terutama sebagai jawaban atas masalah-masalah sosial yang timbul selama tahap awal Revolusi Industri.

(Revrisond Baswir : 26 : 2000) Perkenalan bangsa Indonesia dengan koperasi dimulai pada penghujung abad ke 19, tepatnya pada tahun 1895. Di tengah-tengah penderitaan masyarakat Indonesia, R. Aria Wiraatmaja, seorang patih di Purwekerto, mempelopori berdirinya sebuah bank yang bertujuan menolong para pegawai agar tidak terjerat oleh lintah darat. Usaha ini mendapat persetujuan dan dukungan dari Residen Purwekerto E. Sieburg. Badan Usahanya berbentuk koperasi, dan diberi nama Bank Penolong dan Tabungan (hulp en spaarbank).

Pada tahun 1908 lahir perkumpulan Budi Utomo yang dalam programmnya memanfaatkan sector perkoperasian untuk mensejahterakan rakyat miskin dimulai dengan koperasi industri kecil dan kerajinan. Ketetapan kongres Budi Utomo di Yogyakarta adalah antara lain memperbaiki dan meningkatkan kecerdasan rakyat melalui pendidikan, serta mewujudkan dan mengembangkan gerakan berkoperasi. Telah didirikan "Toko Adil" sebagai langkah pertama pembentukan koperasi konsumsi.

Di tahun 1920-an, pemerintah kolonial Hindia Belanda membentuk jawatan koperasi sebagai bagian dari Kementrian Perekonomian. Jawatan ini mempunyai cabang di semua propinsi dan kantor inspeksi di tiap kabupaten. Ada dua sekolah menengah koperasi pada masa itu yaitu di Yogyakarta dan di Bandung.

Tahun 1927 pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang mewajibkan pemerintah untuk memberikan bimbingan dan penyuluhan mengenai prinsip-prinsip koperasi dan pelaksanaannya dan pada tahun terbentuk pula “Regeling Inlandschhe Cooperatieve”. Dibentuk pula Serikat Dagang Islam, yang bertujuan untuk memperjuangkan kedudukan ekonomi pengusah-pengusaha pribumi.

Sementara itu, pergerakan koperasi dan UMKM di Indonesia tidak mengalami proses perjuangan dan tantangan serta konflik yang menyebabkan koperasi memang benar-benar perlu untuk ditegakkan.

Perkembangan setelah Proklamasi kemerdekaan, adalah di tahun 1946, jawatan koperasi Yogyakarta menyelenggarakan kursus selama seminggu untuk kader-kadernya di tiap kabupaten. Koperasi dibentuk di daerah perkotaan dan pedesaan. Kemudian dilakukan penumpukan modal melalui wajib menabung 10 sen (di luar jumlah harga barang yang dibeli) setiap kali terjadi pembelian. Sistem pendistribusian barang dengan menggunakan jalur kelurahan digunakan kartu yang diserahkan ke panitian distribusi. Diperkirakan telah didapat sekitar Rp. 2 juta pemasukan dari 400.000 keluarga Yogyakarta yang membeli antara tahun 1946 hingga akhir 1948. Sistem koperasi ini lenyap dengan serbuan Belanda ke Yogyakarta pada Desember 1948.

Pada tahun 1952 dibentuk kembali koperasi baru di Kulon Progo dan Bantul. Meskipun tingkat pertumbuhan koperasi di Yogyakarta sangat pesat dalam kurun 1952 hingga 1957 - diketahui ada 310 koperasi di penghujung tahun 1957 jenisnya adalah: koperasi desa serbaguna (kredit), koperasi pegawai negeri, koperasi simpan pinjam, koperasi produksi, koperasi konsumsi, dan koperasi lumbung, namun di tahun 1957 telah terjadi pembubaran sejumlah koperasi. Alasan utama pembubaran koperasi adalah: anggota tidak memenuhi kewajiban untuk melunasi hutang.

Praktek koperasi di Indonesia menjadi lebih buruk lagi selama kurun Orde Baru, disebabkan digunakannya koperasi sebagai alat pemerintah untuk melakukan perdagangan secara monopoli dan mengorbankan lapisan sosial tertentu untuk menyangga -- menjadi kurban dari -- 'pembangunan.' Semenjak dipimpin oleh Pang Suparto. Pada tahun yang sama, Departemen Koperasi dirubah menjadi Kementerian Perdagangan dan Koperasi dibawah pimpinan Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, sedangkan Direktur Jenderal Koperasi dijabat oleh Ir. Ibnoe Soedjono (dari tahun 1960 s/d 1966). Pada tahun 1967 diberlakukan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian tanggal 18 Desember 1967. Koperasi masuk dalam jajaran Departemen Dalam Negeri dengan status Direktorat Jenderal. Mendagri dijabat oleh Basuki Rachmad.

Saat ini, kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pemberdayaan UMKMK dan pengembangan ekonomi rakyat secara umum. Walaupun sudah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009, langkah pemberdayaan UMKMK Indonesia dianggap berjalan di tempat, jika tidak dapat dikatakan regress ke belakang. Tidak jarang, apapun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, kesan skeptisme dan pesimisme akan muncul dari masyarakat. Masyarakat telah belajar banyak bahwa setiap kebijakan pasti menghasilkan dampak baik dan dampak buruk bagi sebagian masyarakat dan stakeholders yang tersangkut dengan kebijakan tersebut. Bahkan kekhawatiran utama terhadap gagasan kebijakan – apalagi secara langsung hanya terkesan melayani kepentingan birokrasi – instrumen kebijakan itu akan terpelintir oleh kepentingan ekonomi dan afiliasi politik sesaat, dan dimanfaatkan oleh petualang-petualang bisnis dan politik yang berada di pusat lingkaran kekuasaan.

Negara-negara di dunia dapat mempertahankan dan mengembangkan perekonomian nasionalnya dengan adanya kegiatan sector riil. Berbagai kegiatan usaha berjalan dengan kondisi dan potensi masing-masing perubahan dan bisa dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu perusahaan/bisnis skala besar atau raksasa, skala menengah, dan skala kecil. Pengelompokkan-pengelompokkan tersebut di Negara yang satu berbeda dengan Negara lain karena kelompok usaha tersebut bergerak di semua bidang kegiatan ekonomi (pertambngan, pertanian, perhotelan, perbankan, dan sebagainya juga manufaktur, perdagangan dan seterusnya).

Perkembangan yang ideal ialah apabila unsure-unsur dalam kelompok kelompok tersebut saling menghidupi secara makro ekonomi dapat mendorong GNP serta terjaminnya lapangan kerja.

Apabila kondisi ideal tersebut tidak terpenuhi dan diusahakan untuk adanya pemenuhan kondisi ideal tersebut, maka akan terjadi ketimpangan masyarakat yang memiliki usaha kecil dengan korporasi, sehingga keinginan bahwa kegiatan ekonomi untuk kepenitngan masyarakat kecil, menengah yang merupakan satu kesatuan rumah tangga dengan masyarakat ekonomi tinggi dalam suatu Negara.

(Tiktik Sartika Partomo dan Abd. Rachman Soejoedono : 2002:12) Pembangunan ekonomi nasional kita sedang dan akan menghadapi perubahan yang fundamental yang berlangsung dengan cepat dan perlu kesiapan dari para pelakunya. Perubahan fundamental pertama ialah terjadi di tingkat internasional yqitu proses globalisasi dengan perdagangan bebas dunia sebagai salah satu motor penggeraknya Perubahan fundamental kedua terjadi di dalam negeri, yaitu berlangsungnya transformasi struktur perekonomian nasional dan perubahan pola konsumsi masyarakat.

Menurut saya perubahan-perubahan tersebut perlu diperhatikan menuntut pengembangan mendasar dari pertumbuhan dan keberlangsungan UMKMK di negeri kita.

Sehingga dalam tulisan ini penulis sangat tertarik untuk membahas perkoperasian dan UMKM di Inodonesia karena hampir setiap tahun dan periode pemerintahan yang tentunya berkaitan dengan pembangunan ekonomi kerakyatan. Pengembangan koperasi dan UMKM selalu digulirkan, namun selalu hanya menjadi ekonomi rakyat pinggiran dan tidak mengalami peningkatan yang pesat dan berkontribusi kepada rakyat.

Didasarkan pada beberapa catatan di atas, maka dipandang perlu adanya evaluasi yang mendalam agar aplikasi perekonomian Inodensia yang berbasis kerakyatan sesuai dengan harapan founding father yang tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Untuk lebih mendalami dan mengevaluasi atas kebijakan dan pengembangan KUKM sebagai basis ekonomi kerakyatan, maka penulis mengambil judul " PENGEMBANGAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH UNTUK MEMBANGUN EKONOMI KERAKYATAN"


PEMBAHASAN

A. Pemberdayaan koperasi dan UMKM di Indonesia dari masa ke masa.

Sistem Ekonomi Indonesia mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 dan system ekonomi kita bukanlah pasar bebas ataupun perencanaan sentral tetapi berdasarkan pada ekonomi kerakyatan (istilah ini digunakan secara resmi dalam TAP MPR No IV/MPR/1999). Dan sesuia pasal 33 UUD 45 peerekonomian disususn sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan. Dan ekonomi koperasi serta UMKM merupakan pengembangan yang sangat ideal dalam ekonomi kerakyatan yang berasas kekeluargaan.

Namun, Pemberdayaan UMKMK di Indonesia mengalami sejarah pasang-surut yang juga sangat berhubungan dengan “kebiasaan buruk” di negara tercinta Indonesia yang sering melakukan perubahan strategi dan prioritas kebijakan pembangunan ekonomi. Entah karena hanya sekadar ingin berbeda dari pendahulunya atau terbawa oleh identitas dan ideology tertentu, pergantian rezim pemerintahan – bahkan sekedar pergantian menteri, prioritas pemberdayaan UMKMK dan kebijakan pembangunan ekonomi kerakyatan juga mengalami perubahan yang cukup signifikan. Beberapa akan diuraikan di bawah ini:

1. Pemerintahan Orde Lama (Rezim Soekarno)

(Revrisond Baswir : 29 : 2000) Setelah memperoleh kemerdekaan, bangsa Indonesia memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan kebijakan ekonominy. Suatu hal yang sangat jelas pada periode ini adalah menonjolnya tekad para pemimpin bangsa Indonesia untuk negubah tatanan perekonomian Indonesia yang Liberal-Kapitalistik menjadi tatanan perekonomian yang sesuai dengan semangat pasal 33 Undang-undang Dasar 1945.

Sebagaimana diketahui, dalam pasal 33 UUD 1945, semangat Koperasi ditempatkan sebagai semangat dasar perekonomian bangsa Indonesia. Melalui pasal itu, bangsa Indonesia bermaksud untuk menyusun suatu sistem perekonomian usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Karena itulah di dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945, Koperasi dinyatakan sebagai bangunan usaha sesuai dengan sistem perekonomian yang hendak dikembangkan di Indonesia.

Pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno, fokus kebijakan ekonomi terlalu berat pada pengkuatan basis politik sebagai suatu nation state yang baru lepas dari imprialisme dan kolonialisme. Pada masa itu nyaris belum dikenal pemilah-milahan kelompok usaha ke dalam jenis usaha besar, usaha kecil dan menengah, mungkin karena pertumbuhan dunia usaha tidak se-dinamis seperti sekarang. Menariknya lagi, hampir setiap aktivitas ekonomi dan keputusan politik yang bersangkut paut dengan modal asing nyaris dianggap bertentangan dengan semangat revolusi dan peletakan dasar-dasar berbangsa dan bernegara.

Salah satu catatan paling menonjol adalah pencanangan suatu Program Benteng yang sengaja untuk memajukan sektor swasta atau sektor usaha secara umum, terutama pribumi. Pada tahun 1950an sudah tercatat nama-nama besar seperti Gani Aziz, Agoes Dassaad, Achmad Bakrie, Eddy Kowara, Hasjim Ning, dan lain-lain. Menurut catatan, pada waktu itu telah muncul 23 pengusaha, 18 diantranya bertahan sampai pada awal 1960an.

Namun situasi yang cukup menggembirakan tersebut segera berakhir dengan diterbitkannya UU Koperasi No.14/1965 yang menyebabkan perkembangan koperasi kembali memburuk yaitu sulitnya bagi seseorang untuk menjadi anggota koperasi, tanpa menggabungkan diri sebagai anggota kelompok politik tertentu. Hal ini jelas menghancurkan citra koperasi, dan menguatkan pendapat masyarakat bahwa koperasi hanyalah sekedar alat bagi kepentingan kelompok tertentu.

2. Pemerintahan Orde Baru (rezim Soeharto)

Pada masa Orde Baru, terdapat perbedaan arah dan haluan kebijakan pengembangan sektor swasta pada masa Orde Baru dan Orde Lama. Pemerintah Orde Baru tidak lagi mengutamakan kesukuan/etnis tertentu atau pengusaha asli pribumi saja, tetapi sudah meluas pada pengusaha keturunan Cina. Disamping itu, beberapa pengusaha diduga bersangkut paut dengan partai terlarang pada waktu itu, sehingga tidak mempunyai tempat dan ruang gerak untuk tumbuh dan berkembang, disamping tentunya karena kegiatan perusahaannya tidak dapat dipertahankan karena kondisi dan iklim perekonomian yang serba tidak stabil.

Pengusaha Cina keturunan tersebut tumbuh dengan pesat, konon disamping karena sifat enterpreunership yang merupakan bakat dan filsafat hidupnya, juga aksesnya pada penguasa negara. Salah satu ciri khusus pengusaha pada Pemerintah Orde Baru sejak tahun 1970an adalah kedekatannya pada penguasa dan unsur perumus kebijaksaan, yang dicerminkan oleh beberapa kemudahan dalam lisensi impor, kredit perbankan, penyalur makanan, dan lain-lain. Oleh karena itu kemudian muncul beberapa istilah (obyektif dan subyektif) seperti pengusaha-birokrat-politisi, kapitalis baru, patron pemerintah-penguasa baru, dan lain sebagainya. Salah satu perkecualian mungkin adalah Mohammad Gobel yang juga sudah menjalin kerjasama dengan pihak asing, Matsushita, Jepang dengan beberapa komoditas elektronik: radio, telvisi, air conditioner (AC), baterai dan lain-lain, terbukti bahwa Mohammad Gobel tidak berafiliasi dengan patai politik milik pemerintah.

Nama-nama yang dekat dengan sumbu kekuasaan Orde Baru dan bekerjasama dengan investor asing sudah sangat familiar, misalnya di bidang otomotif: FIAT (Hasjim Ning), ASTRA (Wiliam Soerjadjaja), MITSUBISHI (Ibnu Sutowo), INDOMOBIL (Soedono Salim); di bidang perkapalan dan pelayaran (Soedarpo Sastrosatomo) atau bahkan Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) di bidang tekstil dan garmen yang melibatkan beberapa unsur politisi dan pemerintahan. Sejak dekade 1970an, 1980 sampai awal 1990an, sektor usaha di Indonesia tumbuh subur, seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang juga sangat tinggi untuk ukuran negara-negara berkembang, lebih 7 persen per tahun.

Kontribusi dan peranan sektor swasta -- bersama-sama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) -- jelas sangat besar. Dari sinilah mulai muncul gejala konglomerasi, perusahaan raksasa bermunculan atau terjadi pemusatan aset dan sumber daya pembangunan pada beberapa kelompok pengusaha saja, terutama setelah keluarga Presiden Soeharto terjun langsung ke dunia usaha dan menjadi salah satu penggerak kapitalisme semu, dengan memanfaatkan akses ekonomi-politik di lingkaran kekuasaan.

Dalam perspektif ekonomi, paradigma konglomerasi seperti di atas sangat erat kaitannya dengan strategi pembangunan ekonomi semenjak awal Orde Baru, yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Dengan landasan Trilogi Pembangunan (stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemeratahan pembangunan), pemerintah percaya bahwa stabilitas nasional yang baik akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi, untuk akhirnya dapat memperbaiki tingkat pemerataan pendapatan warganya minimal melalui trickle down effect. Sampai seberapa ampuh falsafah Trilogi tersebut, semuanya tergantung pada pemerintahan baru sekarang karena kerangka landasan menuju masyarakat yang adil dan makmur masih belum jelas.

Kini Indonesia sedang mengalami dorongan kuat ke belakang sehubungan dengan krisis ekonomi berkepanjangan yang sangat erat kaitannya dengan paradigma konglomerasi yang dianut selama ini. Karena itu, kejatuhan rezim Orde Baru Soeharto juga dipicu oleh gejala ketimpangan pendapatan dan akses pada sumberdaya produktif karena konglomerasi ini.

(Revrisond Baswir :32:2000) Salah satu kelemahan yang sangat menonjol pada zaman orde baru adalah mencoloknya tingkat ketergantungan koperasi terhadap fasilitas dan campur tangan pemerinta. Bahkan, Koperasi kadang-kadang sekedar sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam menjalankan program-programnya.

3. Pemerintahan Transisi (Pimpinan Habibie)

Pada masa kepemimpinan transisitonal Presiden B.J. Habibie, pressure politik yang diberikan masyarakat untuk mengurangi gejala dan ancaman ketimpangan cukup besar. Sidang istimewa Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) November 1998 dengan jelas dan tegas mengamanatkan pemerintah untuk melakukan strategi pemihakan yang serius dan keputusan politik yang kuat dalam pemberdayaan kelompok usaha mikro kecil-menengah dan koperasi (UMKMK). Disanalah jargon-jargon ekonomi kerakyatan menjadi menu sehari-hari dari kebijakan dan strategi yang dikeluarkan jajaran birokrasi.

Esensi dari strategi pemihakan atau langkah afirmatif (affirmative action) itu adalah bahwa proses reformasi ekonomi menuntut koreksi terhadap kebijakan ekonomi lama dengan kebijakan ekonomi baru yang bercorak kerakyatan, kemandirian dan kemartabatan dengan cara meletakkan dasar suatu sistem ekonomi terbuka, yang menjunjung tinggi tegaknya mekanisme pasar yang sehat dan berkeadilan. Tidak ada yang membantah dan berkeberatan terhadap wacana debat publik itu, karena di tingkat ideologis, keberhasilan proses reformasi ekonomi dengan sendirinya akan memperluas pemerataan sumberdaya ekonomi, termasuk aset-aset produktif yang sangat terkonsentrasi kepemilikannya pada negara dan konglomerat besar.

Salah satu pilar strategi pemihakan UMKMK yang sangat terkenal adalah 13 skema kredit program yang disalurkan melalui bank komersial dan juga melibatkan stakeholders lain. Serangkaian program peningkatan jaringan kerja kelembagaan dan pemihakan ekonomi dengan melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lembaga pengembangan swadaya masyarakat (LPSM) sampai ke pelosok tanah air. Suara kontra dan skeptis masih menganggap bahwa beberapa agenda pemberdayaan ekonomi kerakyatan justru tidak efektif, tidak mendidik, tidak akan serta merta mengantar Indonesia keluar dari krisis, bahkan cenderung tidak efisien karena menghabiskan anggaran negara.

Di tingkat wacana pun, debat publik menjadi tidak bermutu karena kubu yang mendukung serta yang menentang strategi pemihakan dalam pengembangan UKM melalui langkah afirmatif itu sukar dipertemukan. Keduanya berangkat dari kutub pemikiran (mazhab), kepercayaan (belief) dan sistem nilai (value system) yang cukup kontras. Dengan ketiga ukuran di atas, hampir mustahil kedua kubu akan sampai pada suatu kompromi yang memuaskan, karena secara hakekat juga berbeda. Walaupun aspek pemantauan (monitoring) pengembangan UKM sebenarnya menjadi salah satu titik temu dari kedua kubu – selain karena kesamaan tujuan akhir untuk memberdayakan ekonomi rakyat – keduanya tidak pernah mencapai kompromi sampai berakhirnya rezim Habibie.

4. Pemerintahan Reformasi (Rezim Gus Dur)

Pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), praktis tidak tercatat satu pun langkah terobosan untuk mengembangkan UMKMK dan ekonomi rakyat secara umum. Bahkan, ketika Gus Dur menunjuk beberapa konglomerat besar dan kontroversial sebagai anggota Dewan Pengembangan Usaha Nasional (DPUN, yang akhirnya dibubarkan), nuansa kontroversi seakan dipelihara subur Presiden. Disamping karena sosok konglomerat Sofyan Wanandi yang memang sedang berurusan dengan pihak berwajib, sebagai pribadi dan sebagai dunia usaha, absennya tokoh pejuang usaha kecil menengah, gerakan koperasi dan ekonomi rakyat merupakan salah satu bukti lemahnya prinsip-prinsip penegakan aransemen kelembagaan pada Pemerintahan Abdurrahman Wahid. Spekulasi di kalangan masyarakat memperkuat hipotesis manajemen ala pesantren yang dipakai Gus Dur untuk menjalankan dan mengelola negara, yang tentunya mengedepankan peranan kyai sebagai the most significant decision maker.

Ekspektasi masyarakat yang berlebihan bahwa Presiden Wahid akan memperkuat institusi pasar yang sempat tidak berfungsi dengan baik pada masa Presiden B.J. Habibie, akhirnya tidak dapat dilakukan. Pemerintah kadang membuat kesan cukup liberal dalam merumuskan kebijakan ekonomi dan menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar, bahkan terkesan sama sekali membiarkan mengikuti proses alamiah yang jelas tanpa fokus. Tapi, pada saat yang sama, pemerintah tampak terlalu lemah, karena berbagai kebijakan ekonomi sering “terpleset” menjadi tidak fokus, terombang-ambing mengikuti sikap dan kepentingan politik para aktor, atau minimal dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh petualang-petualang bisnis dan politik, terutama yang memiliki akses istimewa pada pusat-pusat kekuasaan.

Kemudian, karena pressure yang besar, Rezim Gus Dur akhirnya mencanangkan strategi pengembangan UMKMK dengan enam komponen langkah implementasi seperti: (1) peningkatan alokasi skema kredit melalui perbankan dan lembaga keuangan yang credible, (2) pemberian insentif terhadap lembaga keuangan melalui subsidi administratif dan bantuan teknis, (3) pengembangan komoditas primer pada daerah sentra produksi, (4) perluasan, modernisasi, dan integrasi jangkauan kredit kepada lembaga keuangan tradisional, (5) pemberian insentif perpajakan dan iklim usaha kondusif untuk peningkatan produktivitas, dan (6) revisi skema pembiayaan terhadap usaha kecil menengah (UKM).

Salah satu yang cukup menonjol dari langkah di atas adalah pemberian diskon 25 persen bagi debitor usaha kecil dan menengah memiliki hutang di bawah Rp 5 miliar kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Langkah seperti itu memang perlu dilakukan mengingat jumlah UKM yang terlibat kredit macet berjumlah 12 ribu, dengan total kredit mencapai Rp 6 triliun. Diskon 25 itu sebenarya ditujukan pada kredit yang digunakan untuk kegiatan produktif, bukan kegiatan konsumtif. Sangat disayangkan bahwa seberapa besar progress dan pencapaian langkah di atas berkontribusi pada pemberdayaan produktivitas dan pengembangan UKM secara umum, tidak banyak diketahui oleh masyarakat banyak, bahkan para akademisi sekalipun.

5. Pemerintahan Nasionalis (Megawati)

Pada masa Presiden Megawati, pemberdayaan UMKMK adalah melanjutkan strategi yang dilaksanakan pada masa Presiden Gus Dur. Walaupun pada tingkat wacana selalu dikemukakan, Kabinet Gotong Royong pimpinan Presiden Megawati sebenarnya “agak ragu” dalam memberdayakan UMKMK. Skeptisme yang beredar di masayarakat memang cukup besar terhadap keberhasilan strategi pengembangan UKM yang tidak didahului dan diikuti oleh serangkaian studi akademik mendalam, pengkajian kebijakan publik yang obyektif. Trauma perjalanan kebijakan pengembangan UKM masa lalu yang cenderung amat politis dan melayani kepentingan birokrasi, sehingga esensi dan substansi kebijakan yang sebenarnya sulit untuk dilaksanakan. Sikap skeptisme dan pesimisme masyarakat terhadap strategi pemerintah sangat berhubungan dengan trauma masa lalu atau karena beban kehidupan sehari-hari yang memang terlalu berat untuk dijalani.

Kebijakan pemberdayaan pemerintah masih berpedoman pada Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2004, yang sebenarnya merupakan produk hukum terkahir yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakya (MPR) karena setelah masa pemerintahan hasil Pemilu 2004, Indonesia tidak lagi memiliki GBHN. Landasan hukum lain setingkat undang-undang (UU) adalah Program Pembangunan Nasional Tahun (Propenas) 2000-2004 yang tertuang dalam UU No. 25 Tahun 2000, yang sebenarnya diilhami oleh GBHN 1999-2004 tersebut di atas. Tiga aspek penting yang dijadikan pilar utama masa Pemerintahan Megawati adalah: (1) mengembangkan ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang adil, persaingan sehat, bekelanjutan dan mencegah distorsi pasar; (2) mengembangkan perekonomian yang berorientasi global dengan membangun keunggulan kompetitif berdasarkan keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia, dan (3) memberdayakan UKM agar lebih efisien, produktif dan berdaya saing tinggi.

Tidak berlebihan, jika kerangka besar kebijakan pemberdayaan UKM yang dianut pemerintah berada di antara “pemihakan” dan “pembiaran” yang kadang dapat berayun ke kiri dan ke kanan tergantung pada preferensi yang diterapkan oleh politisi dan perumus kebijakan. Pemerintah memang berupaya melakukan langkah pemihakan (affirmative action) terhadap kelompok usaha kecil, mikro dan kelompok tidak mampu atau yang terjerat kemiskinan, dengan maksud untuk menciptakan kesempatan kerja baru, menghasilkan kegiatan ekonomi produktif, dan mampu berkontribusi bagi pemulihan ekonomi nasional. Akan tetapi, karena kinerja yang dihasilkan terlihat “biasa-biasa”, maka pada babak akhir atau menjelang Pemilihan Umum 2004, pemerintah mengintensifkan program pemihakan dan pemberdayaan UKM, misalnya peningkatan akses modal awal dan padanan (MAP), pengembangan business development services (BDS), kerjasama dengan perguruan tinggi dan lembaga studi setempat, dan sebagainya.

B. Pengembangan dan pemberdayaan Koperasi dan UMKM saat ini

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai pucuk pimpinan tertinggi Kabinet Indonesia Bersatu telah menyampaikannya secara terbuka kepada publik tentang tiga jalur (triple-track strategy) platform pembangunan yang dianutnya. Strategi tiga jalur ini juga merupakan manifestasi dari strategi pembangunan yang lebih pro-growth, pro-employment dan pro-poor yang dianggap referensi penting bagi negara-negara di dunia, yaitu: (1) peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6,5 persen per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor; (2) pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru; dan (3) revitalisasi sektor pertanian dan pedesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan.

Strategi tiga jalur itu memang agak ideal dan mirip buku teks, tapi akan membawa hasil yang besar pula apabila mampu dilaksanakan secara konsisten. Maksudnya, para anggota kabinetnya harus mampu menterjemahkan pernyataan politik di atas menjadi suatu agenda kebijakan yang mampu terlaksana, dapat dikelola secara baik, dan terukur secara kuantitatif untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi. Mereka harus bekerja ekstra keras untuk mengurai benang kusut tersebut dan merumuskan agenda kebijakan pertumbuhan dengan percepatan investasi dan peningkatan ekspor, sekaligus berupaya menerapkan seluruh agenda kebijakan pembenahan sektor riil yang terstruktur dan sistematis. Saat ini Indonesia sangat membutuhkan suatu upaya konkrit untuk penyerapan lapangan kerja, pengurangan disparitas pendapatan di pedesaan dan aliran tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor ekonomi lainnya. Di sinilah esensi bahwa upaya pemberantasan kemiskinan yang dimaksudkan tentulah bukan langkah-langkah pemberian bantuan dan skema karitas belas-kasihan (charity) seperti selama ini. Mungkin, langkah tersebut masih dibutuhkan dalam suatu dimensi bantuan sosial yang tidak mengikat terhadap golongan paling bawah dan sangat tidak mampu, tapi jelas tidak untuk pemberdayaan masyarakat dalam konteks ekonomi yang lebih bersifat progresif.

Komponen jalur strategi pertama sebenarnya cukup “standar” dalam teori ekonomi pembagunan, bahwa elemen investasi dan ekspor sangatlah diperlukan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi sekaligus mampu meningkatkan penyerapan lapangan kerja. Bersama investasi publik atau pengeluaran pemerintah dan konsumsi masyarakat (dan pemerintah), komponen investasi dan ekspor sangat menentukan warna dan kualitas pemulihan ekonomi yang sebenarnya. Bagi negara berbasis sumberdaya alam sebesar Indonesia, nyaris tidak mungkin untuk mengandalkan pembangunan ekonomi hanya dari unsur konsumsi semata, sekalipun potensi untuk hal tersebut cukup besar. Maksudnya, target pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 6,5 persen per tahun sepanjang periode 2004-2009 nampaknya terlalu berat untuk dicapai.

Indikator investasi seperti di atas sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari angka ekspektasi masyarakat masih cukup rendah, walaupun telah terdapat indikator perbaikan minimal dalam peningkatan kapasitas produksi dan penggunaan tenaga kerja. Pangsa investasi terhadap total PDB yang tidak sampai 20 persen tidak dapat disimpulkan sebagai pulihnya sektor riil secara sempurna. Tidak dapat terbantahkan lagi bahwa para investor asing (dan domestik) tidak akan begitu saja berspekulasi untuk menanamkan modalnya di Indonesia apabila peluang keuntungan usaha dalam jangka panjang tidak begitu besar atau tidak dapat diperkirakan dengan baik. Pemerintah pusat dan daerah perlu terus-menerus meningkatkan rasa aman, kepastian usaha, dan kenyamanan berusaha “mengawal” langkah-langkah pembangunan ekonomi di daerah dan kawasan sekitarnya untuk mencapai fixed variable rasa aman, kepastian usaha dan penegakan hukum yang menjadi faktor sangat penting dalam investasi.

Iklim investasi sangat tergantung pada kualitas institusi publik terutama lembaga peradilan yang amat berhubungan dengan kepastian hukum dan iklim kondusif dunia usaha masih terlalu buruk untuk dapat disandingkan dengan institusi publik di luar negeri. Lembaga pemerintahan di Indonesia dinilai tidak efektif dalam standar internasional, dan sangat jauh dibanding Singapura, Australia, apalagi Amerika Serikat. Turunan dari ukuran-ukuran di atas adalah tingkat transparansi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) yang tentu saja masih rendah dan menjadi masalah serius bagi perekonomian nasional. Tidaklah terlalu mengherankan apabila risiko instabilitas politik (dan ekonomi) karena perubahan politik dan sistem politk masih sering dianggap sebagai salah satu country risks yang cukup signifikan.

Demikian pula, untuk mencapai track yang kedua dalam pembenahan sektor riil yang mampu menyerap tenaga kerja, pemerintah perlu bekerja ekstra keras. Pertumbuhan angkatan kerja sekitar dua juta orang per tahun tidak mampu seluruhnya diserap oleh lapangan kerja yang ada sehingga menghasilkan pengangguran yang justu dapat membawa dampak sosial yang lebih kompleks. Persoalan pengangguran (10 juta) dan setengah pengangguran (30 juta) harus dihadapi dengan kepala dingin dan kebijakan yang tepat sasaran, tanpa harus membawa konsekuensi buruk bagi iklim investasi. Angka pengangguran yang terlalu tinggi dapat menjadi prakondis kerawanan sosial politik, yang tentu sangat tidak diharapkan oleh semua orang. Studi Profesor Harvey Brenner dari Johns Hopkins University, Amerika Serikat menunjukkan bahwa setiap satu persen tambahan angka pengangguran akan mengakibatkan 37 ribu kematian, 920 orang bunuh diri, 650 pembunuhan dan 4000 orang dirawat di rumah sakit jiwa.

Komposisi laju angka pengangguran terbuka untuk laki-laki lebih tercatat 7.5 persen, yang sedikit lebih tinggi dibandingkan angka pengangguran wanita yang tercatat 6.1 persen. Angka pengangguran usia muda cenderung lebih tinggi dibandingkan angka pengangguran usia tua, karena pertumbuhan angkatan kerja usia muda memang lebih tinggi. Hal yang perlu memperoleh perhatian serius adalah bahwa 35 persen dari angka pengangguran terdiri dari angkatan kerja dengan pendidikan sekolah dasar atau tidak tamat sekolah dasar. Komposisi angka pengangguran bergelar sarjana yang berjumlah 2,7 persen juga bukanlah persoalan sederhana. Siapa pun yang diberi mandat untuk memimpin negeri ini akan menghadapi kendala yang cukup berat untuk mengentaskan para pengangguran ini.

Aktivitas investasi dan produksi tentu tidak berdiri sendiri karena hal itu refleksi dari keamanan dan rasa aman serta kepastian hukum lainnya. Rendahnya aktivitas produksi merupakan konsekuensi dari buruknya fungsi intermediasi perbankan dalam menjalankan sektor riil. Persoalan tersebut berubah menjadi lebih pelik, ketika suku bunga bank sentral diturunkan tetapi tingkat suku bunga perbankan tidak kunjung turun. Keadaan demikian pastilah tidak dapat dianggap sederhana karena dalam kaidah-kaidah ekonomi modern, fungsi intermediasi perbankan adalah amat vital dalam mengalirkan dana masyarakat dari pihak yang berlebihan dana kepada pihak yang membutuhkan dana segar sesuai prinsip perbankan yang berlaku.

Sementara itu, di lain pihak, sektor perbankan sendiri masih menghadapi persoalan manajemen mikro, kecukupan modal dan penyelesaian kredit macet serta restrukturisasi dan rekapitalisasi yang seakan berjalan di tempat. Ketika bank sentral telah makin independen dan tidak lagi berfungsi sebagai agen pembangunan seperti pada masa lalu, sektor perbankan yang harus menjalankan fungsi kehati-hatian perbankan tidak begitu saja dapat memenuhi tuntutan permintaan kredit dari sektor riil, apalagi yang dianggap berisiko besar dan tanpa agunan yang memadai. Oleh karena itu, perbaikan daya saing ekonomi harus dipecahkan secara jelas dan komprehensif karena hal tersebut dapat menjadi faktor penentu utama mengalirnya arus investasi asing dan domestik.

C. Solusi Pengembangan koperasi dan UMKM di Indonesia untuk membangun ekonomi kerakyatan.

Peranan koperasi di masa depan menjadi kian strategis dengan makin pulihnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga yang memiliki motto dari anggota, oleh anggota dan untuk anggota ini. Meski citra koperasi sempat turun, namun image negatif masa lalu hendaknya jangan dijadikan alasan untuk melemahkan kehidupan berkoperasi. Sebab, lembaga keuangan koperasi yang kokoh akan dapat menjangkau kebutuhan anggotanya dalam membangun ekonomi yang kuat untuk mensejahterakan anggotanya.

Koperasi sangat sesuai dengan semangat gerakan perekonomian rakyat. Sesuai amanat UUD, koperasi merupakan salah satu unit usaha yang direkomendasikan. Koperasi berlandaskan kekeluargaan dan bertujuan meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Memang dalam kenyataan banyak koperasi kolaps, ditinggalkan anggotanya karena berbagai sebab di antaranya perilaku pengurus koperasi banyak yang menyimpang dalam mengelola koperasi.

(Ign.Sukamdiyo : 2002 : 135) Lembaga Koperasi memang harus dikembangkan dengan alasan-alasan sebagai berikut :

1. Adanya kepmapuan yang luwes dari dari koperasi dalam menampung peranan anggota yang mempunyai kepentingan dan bentuk usaha yang beragam.

2. Koperasi meruipakan sarana bersama guna memudahkan pembinaan dari instnasi-instansi terkait.

3. Koperasi dapat berfungsi sebagai lembaga pendidikan untuk berorganisasi ekonomi bagi kelompok lemah dan miskin secara merata.

(Tiktik Sartika Partomo dan Abd. Rachman Soejoedono : 2002:13) Beberapa keunggulan UKM terhadap usha besar antara lain dalah sebagai berikut :

1. Inovasi dalam teknologi yang telah dengan mudah terjadi dalam pengembangan produk.

2. Hubungan kemanusiaan yang akrab di dalam perusahaan kecil.

3. Kemampuan menciptakan kesempatan kerja cukup banyak atau penyerapannya terhadap tenaga kerja

4. Fleksibelitas dan kemampuan menyesuaikan diri terhadap kondisi pasar yang berubah dengan cepat disbanding dengan perusahaan skala besar yang pada umumnya birokratis.

5. Terdapatnya dinamisme manajerial dan peranan kewiraushaan

Salah satu kelemahan usaha kecil ialah tidak pernah memprediksi perkembangan harga menyangkut produksi, alat-alat produksi dan sebagainya. Mereka masih berpatokan pada pengalaman masa lalu. Akibatnya, aktivitas perekonomian menjadi tersendat.

Menanggapai pola pengembangan yang telah diuraikan sebelumnya ternyata terjadi banyak kelemahan terutama "kebiasaan buruk" dengan ganti pimpinan ganti kebijakan, maka secara makro kiranya solusi yang direkomendasikan untuk menjadi pertimbangan ialah :

1. Penegasan UUD 45' tentang ekonomi kerakyatan

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai acuan ekonomi Indonesia, tentunya ekonomi kerakyatan sebagai system perekonomian Indonesia memiliki ciri-ciri positif diantaranya :

v Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas kekeluargaan (pasal 33 UUD 45)

v Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara (pasal 33 UUd 45)

v Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan diperhgunakan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat (pasal 33 UUD 1945)

Dalam Pasal 33 UUD 45 tersebut terkandung cita-cita bangsa, tujuan membangun asas perekonomian dan tata cara menyususn perekonomian bangsa. Pemerintah bersama warga negaranya berkewajiban menjalankan usaha melaksanakan ketetapan danam UUD 45 agar cita-cita luhur dapat dicapai dengan baik dalam waktu yang tidak terlalu lama

2. Penekanan secara Politis

Kurang berperannya koperasi selama ini disebabkan lemahnya insan-insan politik memosisikan koperasi sebagai saka guru perekonomian, Lemahnya lobi dan negosiasi itu berimplikasi terhadap setiap kebijakan politik ekonomi. Akibatnya, koperasi pada usianya yang ke-56 masih tetap sebagai objek penderita, bukan aktor pembangunan ekonomi seperti yang diamanatkan UUD 1945,

3. Harus adanya kebijakan yang bersifat struktural

Kebijakan yang bersifat struktural melalui peraturan perundangan sangat dibutuhkan untuk pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UKMK) memungkinkan kalangan pengusaha UMKM ini untuk berusaha atau berproduksi seluas-luasnya. ''Bahkan bisa memasarkan hasil-hasil produksi dan jasanya itu secara mudah

Dengan begitu, lanjutnya, hambatan-hambatan yang ada akan terus dapat dikurangi oleh pemerintah, baik dalam kerangka tataran atau kerangka instrumental dengan melakukan penyesauain terhadap peraturan yang ada maupun dalam kerangka praktis. ''Melalui keppres-keppres atau peraturan-peraturan daerah. insan koperasi harus mampu menekan para politisi untuk membuat kebijakan yang jelas terhadap perkembangan koperasi. "Tanpa adanya tekanan-tekanan terhadap politisi, maka politisi lebih banyak 'main-main' sendiri dengan berbagai muatan yang dibawa.

4. Revitalisasi Koperasi

Revitalisasi koperasi sebagai Solusi Mengatasi Pengangguran dan Kemiskinan sangat relevan, mengingat Koperasi merupakan pelaku usaha yang potensial untuk menciptakan pendapatan dan perluasan kesempatan kerja, yang pada gilirannya dapat mengurangi angka kemiskinan.sehingga pemerintahan pun harus sejalan dengan apa yang merupakan kehedank masayarkat dalam pengembangan koperasi yaitu bertujuan mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan. Usaha Koperasi umumnya padat dengan penggunaan bahan-bahan lokal namun dalam pengembangannya, prakarsa masyarakat merupakan hal yang paling utama.

5. Pemberian bantuan langsung kepada masyarakat berupa program pemeberdayaan Koperasi dan UKM.

Pada umumnya permodalan Koperasi dan UMKM masih lemah, sehingga perlu adanya strategi pembinaan dan pengembangan di bidang permodalan termasuk bagaimana pemerintah dan masyarakat melaksanakan konsep permodalan untuk membantu Koperasi dan UMKMK tersebut.

Ada banyak alternative membantu permodalan dan pengembangan KUKM di Indonesia selain pada masa sebelumnya sduah dikembangkan pemberian kredit lunak dari sebagian laba BUMN untuk dilakukan program permodalam dan kemitraan Usaha kecil, kini industri perbankan pun harus memiliki kelonggaran dalam menyalurkan kredit pada Koperasi usaha kecil dan Memengah ini.

Sementara secara mikro, dengan mengkaji kisah sukses dari berbagai koperasi dan UMKM, terutama di Indonesia, kiranya dapat disarikan beberapa faktor kunci yang urgent dalam pengembangan dan pemberdayaan koperasi dan UMKM. Diantara faktor penting tersebut, antara lain:

a. Pemahaman pengurus dan anggota akan jati diri koperasi (co-operative identity) yang merupakan entry point dan sekaligus juga crucial point dalam mengimplementasikan jati diri tersebut pada segala aktifitas koperasi dan usaha kecil menengah. Sebagai catatan tambahan, aparatur pemerintah terutama departemen yang membidangi masalah koperasi dan UMKM perlu pula untuk memahami secara utuh dan mendalam mengenai perkoperasian, sehingga komentar yang dilontarkan oleh pejabat tidak terkesan kurang memahami akar persoalan koperasi.

b. Dalam menjalankan usahanya, pengurus koperasi dan pelaku UMKM harus mampu mengidentifikasi kebutuhan kolektif anggotanya dan masayakarat konsumen (collective need of the member) dan memenuhi kebutuhan tersebut. Proses untuk menemukan kebutuhan kolektif anggota sifatnya kondisional dan lokal spesifik. Dengan mempertimbangkan aspirasi anggota-anggotanya, sangat dimungkinkan kebutuhan kolektif setiap koperasi berbeda-beda. Misalnya di suatu kawasan sentra produksi komoditas pertanian (buah-buahan) bisa saja didirikan koperasi. Kehadiran lembaga koperasi yang didirikan oleh dan untuk anggota akan memperlancar proses produksinya, misalnya dengan menyediakan input produksi, memberikan bimbingan teknis produksi, pembukuan usaha, pengemasan dan pemasaran produk.

c. Kesungguhan kerja pengurus dan karyawan dalam mengelola koperasi dan UMKM. Disamping kerja keras, figur pengurus koperasi hendaknya dipilih orang yang amanah, jujur serta transparan.

d. Kegiatan (usaha) koperasi dan UMKM bersinergi dengan aktifitas usaha anggotanya.

e. Adanya efektifitas biaya transaksi antara koperasi dengan anggotanya sehingga biaya tersebut lebih kecil jika dibandingkan biaya transaksi yang dibebankan oleh lembaga non-koperasi


PENUTUP

Kesimpulan

Dari pembahasan sebelumnya saya simpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Pemberdayaan UMKMK di Indonesia mengalami sejarah pasang-surut yang juga sangat berhubungan dengan “kebiasaan buruk” di negara tercinta Indonesia yang sering melakukan perubahan strategi dan prioritas kebijakan pembangunan ekonomi sehingga tidak adanya kesamaan gerak dalam pengembangan Kopererasi dan UKM

2. Strategi tiga jalur yang dikembangkan saat ini akan membawa hasil yang besar pula apabila mampu dilaksanakan secara konsisten. Maksudnya, para anggota kabinetnya harus mampu menterjemahkan pernyataan politik di atas menjadi suatu agenda kebijakan yang mampu terlaksana, dapat dikelola secara baik, dan terukur secara kuantitatif untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi.

3. Koperasi dan UMKM sangat sesuai dengan semangat gerakan perekonomian rakyat. Sesuai amanat UUD, koperasi merupakan salah satu unit usaha yang direkomendasikan. Koperasi berlandaskan kekeluargaan dan bertujuan meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Dan pengembangan yang dilakukan pun harus berbasis pada rakyat.

Saran

Dari pembahasan di atas, saya merekomendasikan beberapa saran sebagai berikut :

1. Rekomendasi kebijakan ke depan adalah secara jelas dan sistematis perbaikan linkages yang obyektif antara pelaku usaha (terutama UMKMK) dan lembaga keuangan (sektor perbankan).

2. Bagi individual UKM, bantuan teknis yang meliputi pembenahan internal manajemen, visi usaha dan pemupukan permodalam justru menjadi kata kunci untuk dapat lebih siap siaga menghadapi tantangan perubahan.

3. Pemerintah, sektor perbankan, dunia akademik dan civil society lain perlu lebih aktif untuk meningkatkan rasa percaya diri UKM dalam menghadapi persaingan tidak sehat dan monopoli terselubung yang masih merajalela.

4. Bagi pemerintah, untuk meningkatkan akses UMKMK terhadap lembaga pembiayaan, khususnya bagi UMKMK yang tidak mungkin mengakses kredit dari lembaga keuangan konvensional

2 komentar:

Pangeran Kaka mengatakan...

ok siip hidup rakyat Indonesia

Hasbulloh ghozaly mengatakan...

hiduupp......