Rabu, 29 Desember 2010
surat maaf
Ketika senggang ku buka isi surat tersebut dan ku baca, ternyata pengrimnya adalah salah satu adik kelasku dan kebetulan dulu ke pernah jadi walikelasnya.
Assalamu'alaikum
puji syukur kepada allah atas segala limpahan nikmatnya dan limpahan kebaikannya kepada kita.
Selasa, 14 Desember 2010
CATATAN KECIL TENTANG KASUS BANK CENTURY
- Penyelewengan dana nasabah hingga Rp 2,8 Trilliun (nasabah Bank Century sebesar Rp 1,4 Triliun dan nasabah Antaboga Deltas Sekuritas Indonesia sebesar Rp 1,4 Triliiun)
- Penggelapan, sebagaimana Polri menyebutkan, total kerugian akibat penggelapan mencapai Rp 13 triliun. Dari total kerugian yang disebabkan Robert Tantular senilai Rp 9,15 triliun. Selain Robert Tantular, Penipuan juga dilakukan oleh pemilik dan manajemen, Dewan Direksi Dewi Tantular, Hermanus Hasan Muslim, dan Laurance Kusuma, serta pemegang saham, yaitu Hesham Al Warraq Thalat dan Rafat Ali Rijvi.
- Terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh manajemen lama Bank Century dengan modus transaksi dan pencairan dana pada rekening nasabah yang sudah diblokir (istilahnya: mengkloning rekening mati)
- Terjadi pelanggaran oleh manajemen lama Bank Century dengan mengadakan deposan-deposan fiktif yang dilakukan dengan cara memanipulasi profil nasabahnya
- Terjadi pelanggaran oleh manajemen Bank Century yang berkolusi dengan beberapa nasabah-nasabah besar, yaitu dengan cara memecah deposito bernominal diatas 2 milyar menjadi rekening-rekening baru bernilai 2 milyar kebawah agar bisa mendapatkan penggantian dari LPS bila terjadi penutupan bank.
- Terjadi pelanggaran oleh manajeman Bank Century dengan modus penggunaan rekening pihak lain untuk menampung pemecahan dana atas nama tertentu yang mempunyai simpanan diatas 2 milyar
- Melanggar Surat Keputusan Direksi BI No. 32/51/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank Umum.
- Melanggar SK direksi BI No. 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif
- Melanggar Peraturan BI No. 2/1/PBI/2000 tanggal 14 Januari 2000 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) sebagaimana diubah dengan PBI N0.5/25/PBI/2003 tanggal 10 November 2003
- BI juga tidak tegas dalam melaksanakan pengawasan atas Bank Century, terutama sejak merger tahun 2004 hingga akhrinya ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik pada tanggal 21 November 2008.
- Berdasarkan temuan audit investigasi BPK ada beberapa aturan yang dilanggar oleh BI seperti: (a) PBI No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. (b) PBI No. 3/21/PBI/2001 tentang kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum yang mengatur bahwa bank yang tidak dapat memenuhi modal minimum (CAR) 8% akan ditempatkan dalam pengawasan khusus.
- PS menerima keputusan dari KSSK bahwa Bank Century masuk kategori bank gagal berdampak sistemik tanpa terlebih dahulu melakukan penyelidikan.
- LPS tidak melakukan penghitungan secara rinci mengenai biaya bailout yang tepat untuk Bank Century. selama ini LPS lalai dalam melaporkan biaya bailout yang tepat terhadap bank Century ke Bank Indonesia (BI).
- LPS mengalirkan dana bailout ke Bank Century melebihi persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yakni Rp2,7 triliun menjadi R 6,7 triliun. hal ini perlu ditelusuri secara lebih mendalam oleh aparat penegak hukum ke mana saja dana yang membengkak itu mengalir.
- Temuan No. 1 : BI tidak Tegas dan Tidak Prudent Dalam Menerapkan Aturan dan Persyaratan Akuisisi dan Merger yang Ditetapkan nya Sendiri dalam Merger Bank CIC, Bank Pikko, dan Bank Danpac.
- Temuan No. 2 : BI Tidak Tegas Dalam Melaksanakan Pengawasan Atas BC Sehingga Permasalahan yang dihadapi BC Sejak Merger Tahun 2004 Tidak Terselesaikan Sehingga Pada Akhirnya Ditetapkan Sebagai Bank Gagal Berdampak Sistemik dan Diselamatkan Oleh LPS Pada Tanggal 21 November 2008.
- Temuan No.3 : Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Kepada BC Dilakukan oleh BI dengan Cara Mengubah Ketentuan dan Pelaksanaan Pemberiannya Tidak Sesuai Ketentuan.
- Temuan No. 4 : Penentuan BC Sebagai Bank Gagal Berdampak Sistemik Tidak Didasarkan pada Data dan Infomarsi yang Lengkap dan Muktahir dari Bank Indonesia Menegenai Kondisi BC yang Sesungguhnya.
- Temuan No. 5 : Penyerahan Penanganan BC kepada LPS Sesuai UU No. 24 Tahun 2004 Tentang LPS dan Pembahasan Tambahan Penyertaan Modal Sementara (PMS) kepada BC Dilakukan oleh Komite Koordinasi (KK) yang Kelembagaannya Belum Dibentuk Berdasarkan Undang-Undang, Sehingga Dapat Mempengaruhi Status Hukum Atas Keberadaan KK dan Penanganan BC oleh LPS.
- Temuan No. 6 : Proses Penanganan BC oleh LPS Tidak Didukung Perhitungan Perkiraan Biaya Penanganan, Tidak Dibahasnya Penambahan PMS secara Lengkap dengan Komite Koordinasi, Perubahan PLPS yang Patut Diduga agar BC Dapat Memperoleh Tambahan PMS untuk Kebutuhan Likuiditas, dan Adanya Penyaluran PMS kepada BC yang Sejak 18 Desember 2008 Tidak Memiliki Dasar Hukum.
- Temuan No. 7 : BC Melakukan Pembayaran Dana Pihak Ketiga Terkait Bank Selama BC Berstatus Sebagai Bank Dalam Pengawasan Khusus Sebesar Rp938,645 Juta.
- Temuan No. 8 : Penggelapan Dana Kas Valas Sebesar USD18 juta dan Pemecahan 247 NCD Masing-masing Nominal Rp2 milliar.
- Temuan No. 9 : Praktik-Praktik Tidak Sehat dan Pelanggaran-Pelanggaran oleh Pengurus Bank, Pemegang Saham dan Pihak-Pihak Terkait dalam Pengelolaan Bank yang Merugikan BC.
CATATAN KECIL TENTANG KASUS BANK CENTURY
Rabu, 08 Desember 2010
OPSI PEMBATASAN BBM BERSUBSIDI (Bagian 1)
Dengan adanya pembatasan subsidi bagi kalangan menegah keatas sebenarnya akan berdampak positif dan negative, mungkin dampak positifnya yaitu dana yang dihemat dapat dipakai atau digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan fasilitas-fasilitas lainnya, maka pada dasarnya pemerintah sudah berpikir untuk mobil tahun 2005 keatas dkenakan pembatasan subsidi BBM (survey dari Uiversitas Indonesia). Sedangkan dampak negatifnya yaitu dengan adanya penghematan subsidi BBM untuk kalangan menegah keatas maka akan mengakibatkan BBM menjadi mahal, hal ini tentu akan berdampak bagi BBM itu sendiri khususnya pertamina, mungkin akan membuat para konsumen beralih ke BBM yang lain seperti Petronas maupun Shell oleh karena itu pemerintah perlu mengkaji kebijakan yang tepat sehingga tidak akan terjadi kesalahan dan akan merugikan BUMN itu sendiri.
Pemerintah terus berupaya mengetatkan sasaran subsidi BBM, agar struktur subsidi BBM di APBN tak membengkak terus. Karena, selama ini berdasarkan penelitian, kendaraan pribadi ber¬upa mobil dan motorlah yang pal¬ing banyak menyedot perse¬diaan premium bersubsidi, nyaris 90 per¬sen jumlahnya.
Dari 90 persen persediaan pre¬mium bersubsidi, lebih dari se¬te¬ngahnya disedot oleh pengguna mo¬bil. Sisanya seperempat per¬se¬diaan premium bersubsidi di¬gunakan untuk memenuhi ke¬bu-tuhan pengguna sepeda motor yang jumlahnya mencapai sekitar 40 juta unit.
Oleh karena hal tersebut, Kuota BBM bersubsidi yang dipatok dalam APBN Tambahan 2010 semakin tipis menyusul tingkat konsumsi masyarakat yang terus meningkat seiring dengan aktivitas perekonomian yang tinggi. Diperkirakan kuota BBM bersubsidi tak akan bisa menutup kebutuhan masyarakat hingga akhir tahun ini. PT Pertamina (Persero) memperkirakan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada 2010 akan mencapai 38,379 juta kiloliter. Hal ini melebihi total kuota yang dipatok 36,5 juta kiloliter. Perkiraan konsumsi itu terdiri dari atas premium 23,129 juta kiloliter, minyak tanah 2,389 juta kiloliter, dan solar 12,859 juta kiloliter.
Pemerintah menyiapkan dua opsi untuk menghemat konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Opsi pertama, semua kendaraan roda empat pelat hitam menggunakan BBM nonsubsidi. Opsi kedua, melarang mobil produksi 2005 ke atas menggunakan BBM nonsubsidi. opsi pertama diperkirakan bakal menghasilkan penghematan BBM bersubsidi sekitar 14 juta kiloliter. Jumlah itu lebih besar ketimbang yang dihasilkan dari opsi kedua yang hanya menghemat BBM bersubsidi sekitar 9 juta kiloliter.
Bagi Pemerintah, pilihan pembatasan konsumsi BBM subsidi bagi kendaraan tahun 2005 ke atas adalah pilihan yang masuk akal. Ini mengingat pertumbuhan pengguna kendaraan pribadi tahun 2005 ke atas semakin bertambah dari tahun ke tahun. Setiap tahun penjualan mobil meningkat rata-rata 30%, sedangkan motor sekitar 20%. Membaiknya ekonomi yang tidak disertai perbaikan sistem transportasi membuat masyarakat tetap memburu kendaraan pribadi untuk menunjang mobilitasnya. Pada semester I 2010, penjualan mobil di Indonesia mencapai 370 ribu unit atau naik 75%, sementara penjualan motor mencapai 3,6 juta unit atau naik 41% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Keputusan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi bagi pengguna kendaraan bermotor secara proyeksi anggaran diharapkan mampu menghemat anggaran subsidi. Karena pembatasan subsidi BBM secara bertahap yang di¬lakukan pemerintah diharapkan dapat mendongkrak APBN.
Selain itu, sangat tidak etis kalau kendaraan pribadi roda empat masih disubsidi. Mereka itu lebih rakus dalam mengkonsumsi BBM. Berdasarkan hitung-hitungan YLKI, jika di-asumsikan rata-rata para pe¬ngendara mobil mengkonsumsi premium 10 liter per hari, maka me-reka sudah menikmati subsidi per bulannya sebesar Rp 1 juta. Padahal dari sisi kemampuan ekonomi, para pemilik kendaraan roda empat masuk dalam kategori golongan mampu.
Hal ini dapat dicontohkan seperti di beberapa daerah, di Jember misalnya dari data yang dihimpun bahwa pengguna sepeda motor berjumlah 310 ribu kendaraan, pengguna mobil pribadi 30 ribu kendaraan, pengguna pick up dan truk 12 ribu kendaraan. Adapun jumlah penduduk sekitar 2.600.000 Jiwa dan diasumsikan berjumlah 600 Ribu KK. Dari perkiraan tersebut, apabila hanya 30 ribu kendaraan mobil pribadi, maka hanya 5 % dari penduduk Jember menggunakan mobil Pribadi dan 95 persen menggunakan kendaraan motor. Apabila dibatas penggunaan BBM bagi mobil pribadi maka 95 % masyarakat Jember masih tetap menikmati BBM Bersubsidi.
Keputusan untuk melarang mobil produksi tahun 2005 ke atas menggunakan BBM jenis premium diperkirakan bisa menghemat anggaran subsidi BBM sekitar Rp 10,6 triliun.
Namun demikian ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah agar kebijakan ini sesuai dengan rencana dan tepat sasaran.
Pertama, Persiapan yang tak jelas dan sosialisasi yang masih minim dari pemerintah. Apabila diterapkan dalam waktu dekat, mayoritas SPBU di daerah belum siap melaksanakan kebijakan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang rencananya diterapkan mulai 1 Januari 2011. Ketidaksiapan itu disebabkan banyak SPBU di daerah yang hingga kini belum mendapat jatah BBM nonsubsidi jenis pertamax, di samping infrastruktur di SPBU yang kurang lengkap. Hiswana Migas sendiri mengungkapkan, bahwa hanya sekitar 35% SPBU yang sudah siap melaksanakan pembatasan BBM. SPBU yang belum siap adalah SPBU yang selama ini belum mendapat pertamax, sehingga belum mempunyai tangki dan dispenser yang dibutuhkan untuk pembatasan BBM subsidi. Kemudian Dari sisi modal mereka juga belum siap.
Kedua, hal yang cukup memprihatinkan yaitu dengan adanya kasus penyelundupan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Untuk itu, aparat terkait harus meningkatkan pengawasan guna mencegah penjualan BBM bersubsidi secara ilegal. Karena apabila tidak dipersiapkan tindakan yang jelas kebijakan ini malah akan menimbulkan masalah baru melalui penggelapan penjualan BBM bersubsidi ini.
Ketiga, mengenai diuntungkannya SPBU milik asing yang penjualannya akan meningkat dan merugikan pengusaha perminyakan domestik. Sebab, masyarakat akan ‘mampir’ juga ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) asing yang selama ini sepi peminat. Bila kebijakan pembatasan tetap akan dilakukan, pemerintah juga harus segera membuat aturan khusus untuk mengatur perusahaan-perusahaan asing yang sudah mulai masuk ke bisnis ritel BBM. Paling tidak Peraturan Menteri (Permen), seharusnya akan lebih kuat kalau diatur dalam Perarturan Pemerintah (PP) hilir. Oleh karena itu, emerintah harus mengatur harga BBM non subsidi dan pemerintah sebaiknya memiliki batasan range harga jual BBM non subsidi tersebut dan pemerintah diperbolehkan intervensi pada kondisi-kondisi tertentu. Selain itu, pemerintah juga seharusnya mulai mengarahkan agar perusahaan asing yang masuk ke bisnis ritel BBM melakukan ekspansi ke luar Jawa dan harus dikenakan kewajiban mempunyai stok seperti halnya Pertamina untuk menjamin pasokan BBM domestik.
Evaluasi Program Elektrifikasi
ANALISI KEBIJAKAN PROGRAM ELEKTRIFIKASI DAN PROGRAM 10 RB MEGAWATT TAHAP 1 DAN TAHAP 2
I. Pendahuluan
Untuk mencapai ketahanan energi nasional yang menjamin kelangsungan pertumbuhan nasional melalui restrukturisasi kelembagaan dan optimasi pemanfaatan energi alternatif seluas-luasnya. Maka pemerintah mengambil kebijakan dalam bidang energy nasional yang terintegrasi sesuai dengan Rencana Induk Energi Nasional. Dimana pemerintah menargetkan rasio elektifikasi 100 persen dalam kurun 13 tahun kedepan, dengan mengeluarkan kebijakan peningkatan kapasitas pembangkit listrik sebesar rata-rata 3.000 MW per tahun mulai 2010 dengan rasio elektrifikasi yang mencakup 62% pada 2010 dan 80% pada 2014.
II. Permasalahan
• Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari banyak pulau yang tersebar.
• Rasio elektrifikasi yang baru mencapai sekitar 65% (39 juta pelanggan)
• Ketidakseimbangan antara permintaan dengan pasokan tenaga listrik.
• Infrastruktur pasokan energi primer maupun energi listrik masih terbatas terutama di luar Jawa-Bali.
• Mismatch antara potensi sumber energi primer yang sebagian besar berada di luar Jawa dengan pusat beban yang terkonsentrasi di Jawa-Bali.
• Ketergantungan terhadap sumber energi fosil masih tinggi, sementara iklim pengembangan potensi energi terbarukan yang cukup melimpah masih belum mendukung karena biaya produksi listriknya lebih mahal, kecuali bila ada dukungan dari pemerintah baik berupa kebijakan fiskal maupun regulasi interdept terkait lainnya.
• Tarik menarik antara kewajiban untuk berkontribusi dalam upaya mitigasi perubahan iklim dengan upaya mengejar pertumbuhan ekonomi.
III. Analisa
Dari sisi keseimbangan suplai dan permintaan, krisis listrik nasional terjadi karena pasokan listrik tidak mampu mengimbangi kebutuhan dalam perekonomian. Sejak krisis 1997, bisa dikatakan tidak ada penambahan kapasitas pembangkit baru yang signifikan.
Produksi listrik stagnan sejak 1998, hanya tumbuh sekitar 3 persen per tahun, atau di bawah laju pertumbuhan ekonomi yang 5-6 persen sekarang ini. Angka pertumbuhan produksi listrik sebesar ini tidak bisa mengimbangi pertumbuhan permintaan listrik yang 7-8 persen per tahun.
Persoalan underinvestment bukan hanya dialami oleh pembangkit, tetapi juga jaringan transmisi dan distribusi. Sistem Jawa-Bali yang paling maju dan saling tersambung (interkoneksi) dengan jaringan 500 kV dan kabel laut 150 kV pun sebenarnya belum sepenuhnya saling tersambung karena kelemahan dalam sistem transmisi dan distribusi ini.
Sistem Jawa-Bali juga sangat rawan karena terlalu menggantungkan diri pada dua pembangkit besar, PLTU Suralaya (3.400 MW) dan PLTU Paiton (2.400 MW), yang sudah tua dan "sakit-sakitan".
Untuk mengimbangi laju konsumsi listrik yang diperkirakan mencapai 8-10 persen per tahun hingga tahun 2013, Indonesia, menurut pemerintah, memerlukan tambahan kapasitas pembangkit sebesar 24 gigawatt (GW) hingga tahun 2013. Kapasitas terpasang pembangkit yang dimiliki sekarang ini sekitar 24,7 GW.
Beban ini tidak mungkin ditimpakan hanya pada PT PLN yang beberapa tahun ini terus dilanda kesulitan keuangan. Ironisnya, meski berbagai upaya pembenahan regulasi dan insentif sudah dilakukan pemerintah, investasi swasta tidak juga kunjung masuk.
Demikian pula berbagai program fast track yang dimaksudkan untuk mengatasi krisis listrik dalam jangka pendek (terutama di Jawa-Bali), seperti proyek PLTU batu bara 10.000 MW yang ditargetkan selesai pada tahun ini, juga tidak jelas perkembangannya sampai sekarang.
Berdasarkan kajian, faktor utama yang menarik investor untuk masuk ke sektor ketenagalistrikan adalah pertumbuhan permintaan, laju elektrifikasi, kompetitif tidaknya struktur tarif, potensi keuntungan (return on investment), tingkat risiko, keterbukaan pasar, fundamental jangka panjang dan stabilitas politik dan demokrasi.
Dari faktor-faktor tersebut, mereka melihat Filipina merupakan tempat menarik untuk investasi kelistrikan, disusul Thailand, Vietnam, India, Malaysia, dan China. Sedangkan Indonesia bersama Sri Lanka dan Pakistan dianggap tidak menarik.
Salah satu alasan tidak masuknya investor adalah karena tidak adanya kerangka kebijakan (regulatory framework) yang jelas. Salah satu yang diinginkan investor adalah kepastian tentang tarif. Persoalannya, struktur tarif yang sekarang ini tidak didukung oleh undang-undang kelistrikan yang benar.
Di satu sisi, mereka yang mendukung dianulirnya UU Kelistrikan Nomor 2 Tahun 2002 menginginkan tarif listrik tetap ditentukan oleh pemerintah, namun harga BBM untuk pembangkit diserahkan pada mekanisme pasar. Ini yang membuat investasi di kelistrikan menjadi tidak menarik bagi investor.
Aturannya sekarang ini tidak tegas. Harganya (listrik) tak boleh ditentukan oleh pasar, tetapi peranan pemerintah untuk melakukan ini juga terbatas. Tidak masuknya investasi swasta mengakibatkan struktur industry kelistrikan tetap didominasi oleh PT PLN yang tidak efisien, penuh korupsi, dan tidak mampu menjadi ujung tombak ekspansi pembangunan kelistrikan karena kesulitan keuangan yang terus merundungnya sejak krisis.
Keterpurukan PLN, selain bersumber dari kebobrokan di dalam, juga karena kebijakan pemerintah yang kontradiktif, dan keterlambatan pemerintah membayar subsidi ke PLN membuat PLN tidak bisa membeli pasokan BBM atau gas ke Pertamina dan PGN sehingga upaya pelayanan PLN ikut terganggu.
Konsekuensi dari kondisi ini, upaya menggenjot pasokan kelistrikan juga terkendala. Ini baru bicara pembangkit. Krisis listrik sebenarnya gambaran krisis energi nasional akibat kegagalan dalam pengelolaan sumber daya energi nasional secara optimal.
Program konservasi dan diversifikasi energi bukan baru kali ini saja disuarakan, tetapi di lapangan tidak segera terlihat realisasinya, kendati status net importer dan kelangkaan BBM sudah dirasakan beberapa tahun terakhir. Keberanian mengurangi subsidi secara signifikan baru ada pada pemerintahan sekarang ini. Kendati dikritik dan memunculkan dampak temporer yang sangat berat bagi perekonomian, kebijakan pengurangan subsidi secara tajam dua kali dalam tahun 2005 itu menjadi fondasi awal yang kokoh untuk menata kebijakan energi ke depan.
Dari sisi suplai, problem utama sistem kelistrikan Indonesia sekarang ini, adalah ketergantungan yang sangat besar pada sumber energi yang mahal. Sekitar 80 persen pembangkit milik PT PLN yang memasok sekitar 90 persen kebutuhan listrik nasional masih mengandalkan pembangkit termal seperti minyak, gas dan batu bara. Akibatnya, ketika harga BBM melonjak, biaya pembangkitan juga menjadi sangat tidak efisien dan sangat mahal.
Di luar Jawa-Bali, sistem kelistrikan yang dikembangkan juga belum efisien dan masih banyak mengandalkan pada diesel yang berbahan bakar solar, belum terinterkoneksi, dan belum mampu melayani konsumen secara optimal. Krisis listrik di Tanah Air dan kealpaan mengembangkan energi alternatif terbarukan itu sebenarnya hanya manifestasi dari kebijakan energi yang tidak bervisi jauh ke depan, karena cenderung menganggap minyak tidak akan pernah habis.
Salah satunya adalah kebijakan subsidi BBM regresif yang diterapkan pemerintah beberapa dekade terakhir. Kebijakan subsidi ini dituding sebagai biang keladi amburadulnya pengelolaan energi di Indonesia, karena justru tidak mendorong terjadinya konservasi dan diversifikasi energi, sehingga menjadi beban berat bagi keuangan negara, sumber inefisiensi, dan modus praktik-praktik penyelundupan.
Kebijakan energi murah lewat subsidi itu juga membuat program-program pengembangan listrik di daerah, seperti listrik pedesaan, pun tidak mengandalkan sumber energi terbarukan yang tersedia secara melimpah di daerah setempat, tetapi justru pada sumber energi mahal seperti genset solar.
Untuk konservasi dan diversifikasi energi nasional, pemerintah sebenarnya sudah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 mengenai Kebijakan Energi Nasional. Perpres ini sudah menggariskan target pemanfaatan energi optimal, yang intinya menekan penggunaan minyak dari 80 persen menjadi kurang dari 20 persen pada 2020.
Sementara peran gas dalam pembangkitan listrik diharapkan meningkat menjadi di atas 30 persen, batu bara lebih dari 33 persen, biofuel di atas 5 persen, panas bumi di atas 5 persen, dan 5 persen sisanya dari biomassa, nuklir, mikrohidro, surya dan angin, serta 2 persen lebih dari batu bara cair. Namun, lagi-lagi persoalannya selalu ada pada implementasi. Meski sudah ada cetak biru kebijakan energi nasional dalam rangka konservasi dan diversifikasi, pelaksanaan di lapangan terasa kurang gereget. Salah satu contoh, program biofuel yang jalan di tempat.
Tujuan Inpres No 1 Tahun 2006 tentang Pasokan dan Pemanfaatan biofuel adalah mendorong pengembangan proyek-proyek biofuel di Indonesia yang pro-growth (mendorong pertumbuhan ekonomi), pro-poor (mengentaskan kemiskinan), dan pro-job (menciptakan lapangan kerja) dengan pendekatan multisektoral.
Pada dasarnya, program ini hanya menggebu-gebu di muka, melempem di tengah jalan. Untuk bioetanol, misalnya, banyak daerah atau petani atau daerah yang sebelumnya sudah antusias menanam jarak pagar karena iming-iming manfaat ekonomisnya, akhirnya harus menyaksikan semangat itu menguap begitu saja karena tidak ada tindak lanjut program di lapangan.
Salah satu yang dipertaruhkan dengan program pembangunan kelistrikan nasional adalah target elektrifikasi 90 persen pada 2020. Dibandingkan negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina, rasio elektrifikasi di Indonesia termasuk rendah karena terpuruknya investasi infrastruktur sejak krisis. Dengan rasio elektrifikasi 53 persen, sekitar 70 juta penduduk belum menikmati listrik setelah 62 tahun Indonesia merdeka.
Untuk mencapai target ini, produksi listrik harus tumbuh sekitar 13,1 persen per tahun. Sekali lagi, itu tidak bisa hanya dibebankan kepada PLN. Kuncinya tetap pada iklim investasi. Dalam hal ini, seperti pada kasus proyek crash program PLTU batu bara 10.000 MW dengan China, pemerintah tidak bisa hanya "mau menang sendiri", ingin cepat, murah, namun insentif tidak diberikan.
Akhirnya, menangani krisis listrik tidak bisa hanya dengan membangun pembangkit atau jaringan transmisi dan distribusi. Untuk wilayah Indonesia yang kepulauan, kebijakan inovatif sangat diperlukan. Termasuk di sini dengan mendorong inisiatif-inisiatif pembangunan kelistrikan berbasis masyarakat dan bertumbuhnya gerakan swasembada listrik di wilayah-wilayah lumbung energi.
Jadi, masih banyak pekerjaan rumah pemerintah setelah regulasi dan iklim investasi ditata agar Indonesia tidak gelap gulita.
IV. Rekomendasi
Perlu adanya upaya dari pemerintah untuk mendorong realisasi program Pembangunan Pembangkit 10.000 MW tahap I dan II. Upaya yang diharapkan terutama dalam membuka iklim usaha yang baik, perbaikan, dan pembukaan sarana, prasarana serta infrastruktur agar terbuka peluang investasi ketenagalistrikan baik dari PT. PLN sendiri maupun dari pihak Independent Power Producer.
PLN harus bisa mengambil langkah-langkah strategis dengan memanfaatkan sumber daya yang ada dengan optimal. Sebagai contoh pada semester I tahun 2009 PLN mencatat laba yang cukup besar. Berdasarkan laporan keuangan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik PLN membukukan laba bersih sebesar Rp 6,2 triliun. Laba ini diperoleh karena keberhasilan PLN melakukan berbagai efisiensi. Terutama dalam penekanan biaya bahan bakar minyak yang menyumbang 55% dari total pengeluaran.
Pencapaian ini merupakan prestasi tersendiri mengingat dalam beberapa tahun terakhir PLN selalu mengalami kerugian sehingga membuat kekayaan perusahaan mengalami defisit. Seperti diketahui kerugian yang dialami PLN dalam beberapa tahun terakhir membuat beban subsidi Pemerintah dalam skema Public Service Obligation (PSO) yang dimulai dari tahun 2006 meningkat secara signifikan yaitu dari Rp 33,9 triliun menjadi Rp 83,9 triliun pada tahun 2008.
PLN memperkirakan besaran subsidi listrik untuk tahun 2009 akan mencapai Rp 51,9 triliun. Perkiraan ini didasarkan pada asumsi harga minyak mentah US$80/bbl, kurs 1$ = 9.400 dan tidak ada kenaikan tarif. Dari perkiraan tersebut Pemerintah menetapkan besaran subsidi dalam APBN P tahun 2009 yaitu sebesar Rp 47,5 triliun. Dengan besarnya subsidi yang diberikan kepada PLN kita berharap PLN mampu memberikan pelayanan dengan lebih baik dan terus meningkatkan kinerja dan investasi guna mengatasi kekurangan pasokan listrik nasional.
Selain dengan mendorong kinerja dan meningkatkan efisiensi dari PLN harapan akan ketersediaan energi ini juga didukung oleh faktor eksternal yang sangat mendukung. Faktor eksternal tersebut adalah persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Pemerintah untuk memberikan tambahan margin PSO sebesar 5% kepada PLN. Penambahan margin tersebut diharapkan akan meningkatkan cash flows PLN.
Peningkatan cash flows tersebut akan berakibat kepada meningkatnya likuiditas PLN sehingga laporan keuangannya semakin baik. Membaiknya laporan keuangan PLN akan berakibat pada meningkatnya kemampuan PLN untuk melakukan investasi baik secara langsung maupun melalui pinjaman jangka panjang. Selain itu rencana Pemerintah untuk menaikan Tarif Dasar Listrik di tahun 2010 juga semakin meningkatkan potensi PLN untuk berinvestasi.
Faktor lain yang sangat membantu PLN untuk menambah kapasitas listrik nasional sekaligus meningkatkan efisiensi adalah mulai beroperasinya sebagian pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dari Proyek 10.000 MW Tahap I pada pertengahan tahun 2010. Beroperasinya pembangkit berbahan batubara tersebut akan mengurangi beban pemakaian Bahan Bakar Minyak (BBM) yang membebani subsidi.
Pengurangan pemakaian BBM ini akan mengakibatkan turunnya biaya pokok pembangkitan tenaga listrik sehingga keuntungan PLN semakin besar. Selain itu penurunan konsumsi BBM tersebut juga berpengaruh terhadap besaran subsidi listrik Pemerintah. Penurunan beban subsidi listrik tersebut akan meringankan beban APBN sehingga dapat digunakan untuk kebutuhan lainnya. Bila kinerja PLN terus mengalami peningkatan bukan tidak mungkin subsidi listrik akan semakin berkurang atau bahkan dihapus pada tahun-tahun mendatang.
Dengan semakin membaiknya kinerja PLN kita berharap segera terwujud ketahanan energi nasional di masa yang akan datang melalui investasi yang menyeluruh dan terencana. Langkah-langkah yang sudah dilakukan Pemerintah dalam mewujudkan ketahanan energi nasional antara lain memberikan Jaminan Pemerintah kepada Investor untuk membiayai pembangunan pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batu bara beserta transmisinya dalam Proyek 10.000 MW Tahap I.
Proyek tersebut akan dilanjutkan dengan Proyek 10.000 MW Tahap II yang lebih banyak berlokasi di luar Pulau Jawa. Jika proyek ini berjalan dengan baik PLN akan mempunyai tambahan kapasitas sebanyak 20.000 MW.
Selain kedua proyek itu Pemerintah juga sedang melakukan kajian dalam rangka mendukung dan meningkatkan investasi di bidang energi tarbarukan seperti proyek listrik geothermal. Apabila proyek-proyek tersebut berjalan dengan lancar diharapkan ketahanan energi nasional sebagaimana tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN dalam Visi 75-100 yaitu tercapainya rasio elektrifikasi sebesar 100% di seluruh Indonesia sebelum Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke-75 di tahun 2020 dapat terwujud.
Melihat beberapa faktor di atas masyarakat berharap Pemerintah melalui PLN bisa mengatasi masalah kelangkaan energi nasional sehingga masalah pemadaman listrik tidak akan terjadi lagi. Selain program-program yang telah dan akan dilaksanakan oleh Pemerintah tantangan dari internal PLN untuk terus meningkatkan efisiensi dan efektifitas proses produksi harus terus dilakukan.
Untuk saat ini PLN harus mampu berubah dan bekerja lebih keras sehingga pemadaman listrik bisa dikurangi seminimal mungkin. PLN harus bisa menunjukkan kepada masyarakat bahwa kepercayaan yang diberikan bisa dipertanggungjawabkan dengan baik jika tidak ingin disebut sebagai Perusahaan Lilin Negara. Terlepas dari semua risiko dan tantangan yang ada kita semua berharap bahwa bangsa ini bisa mewujudkan kemandirian energi sehingga pembangunan bisa terus berjalan dengan baik.
Selasa, 07 Desember 2010
Antaboga dan Rekomendasi DPR
Dalam rekomendasi point lima Hasil Paripurna hak anget Bank Century, DPR merekemondasikan pemerintah harus menyelesaikan permasalahan yang menimpa nasabah PT Antaboga Delta Sekuritas dengan mengajukan kepada DPR pola penyelesaian secara menyeluruh, baik dasar hukum, dan sumber pembiayaan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini menjadi salah satu rekomendasi DPR karena sesuai dengan keterangan LPS, nasabah dan manajemen bank Century produk PT Antaboga dijual oleh Bank Century.
Dari hal tersebut, mengenai pengembalian dana nasabah Antaboga, pemerintah menawarkan dua opsi. Diganti melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau dari hasil pemulihan aset yang diambil secara tidak sah oleh menajemen dan pemilik Bank Century.
Kontradiksi dan Solusi
DPR meminta pemerintah menyelesaikan permasalahan nasabah Antaboga yang nilainya mencapai Rp1,3 triliun. Adapun pola, dasar hukum dan sumber pembiayaannya, pemerintah diminta untuk mengajukan ke DPR untuk disetujui.
Melalui rekomendasi ini, memang terlihat DPR merekomendasikan untuk mengucurkan “bailout” bagi nasabah Antaboga. Dan pemerintah harus mampu untuk mencari solusinya. Ini terlihat kontradiksi. Pada satu sisi DPR menggugat pengucuran bailout sebesar Rp6,7 triliun oleh pemerintah atas Bank Century. Namun di sisi lain, para wakil rakyat itu justru menerbitkan bailout baru untuk nasabah Antaboga. Namun, inilah bentuk pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh pemerintah dan atau BI sesuai dengan fakta hasil rumusan hak angket DPR.
Dari kontradiksi tersebut, kini Masalah penyelesaian kasus investor An¬ta¬boga menjadi tanggung jawab Lem¬baga Penjaminan Simpanan (LPS) dan Kementerian Keuang¬an, karena manajemen Bank Mutiara (bank Century) harus fokus pada pemulihan dan peningkatan kinerja Bank Mutiara.
Pertanggungjawaban LPS, hal ini berdasarkan fakta yang ada dengan pengambilalihan Bank Century oleh LPS, maka hak dan kewajiban pengembalian dana nasabah beralih kepada pengambil alih, yakni LPS. LPS harus mampu mencari solusi mengembalikan kerugian kepada para konsumen yang telah dirugikan. hal itu berdasarkan putusan hukum Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Nomor 15/abs/BPSK-Yk/VIII/2003, tanggal 8 Agustus 2009 tentang Perlindungan Konsumen.
Mengenai solusi pengembalian dana nasabah yang diajukan pemerintah, dua opsinya yaitu Diganti lewat dana dari APBN atau menunggu pemulihan aset yang diambil secara ilegal oleh manajemen dan pemilik Bank Century.
Rekomendasi untuk mengganti uang nasabah Antaboga ini tentu menimbulkan kerepotan bagi pemerintah. Dasar hukum apa yang akan dipergunakan untuk mengganti uang nasabah Antaboga? Dari mana sumber dana pemerintah untuk mengganti uang itu?
jika diganti melalui APBN, tentu pemerintah harus memasukkannya dalam anggaran dan kemudian membawanya ke DPR untuk dimintakan persetujuan. Post Anggaran mana yang akan digunakan? Ini akan menimbulkan kerugian baru bagi negara. Kedepan, kondisi yang demikian akan melahirkan sebuah yurisprudensi modus baru bagi pemilik, penguasa perbankan untuk melakukan tindak kejahatan. Dan juga akan membuat nasabah perusahaan sekuritas lainnya seperti Optima dan Sarijaya menuntut penyelesaian serupa kepada pemerintah.
Menunggu pemulihan aset yang dicuri, memang akan memakan waktu yang relatif lama. Artinya, nasabah Antaboga harus bersabar lebih lama. Namun, Sumber dana melalui pemulihan asset bank century ini harus ada upaya percepatan dan ini merupakan cerminan sejauh mana keseriusan pemerintah dalam menjalankan rekomendasi DPR. Sebenarnya asset yang dimiliki oleh pemilik lama Bank Century yang bisa disita itu sebanyak Rp 13 triliun.
untuk memudahkan pengejaran aset ini dibutuhkan audit forensik. Supaya ketahuan aliran dana PMS dan FPJP (bailout century) lari ke luar negeri. Selain mengejar aset, polisi juga perlu untuk menangkap Hesyam dan Rafaat. Karena jika tertangkap, maka pengejaran aset lebih mudah dilakukan.
Namun, sampai saat ini perlu dipertanyakan kepada pemerintah melalui DPR, sejauh mana usaha pemerintah untuk mengembalikan aset Bank Century yang digelapkan oleh para pemiliknya ?
Penutup
Dari permasalahan yang diungkapkan di atas, DPR harus mendesak pemerintah segera melakukan percepatan atas pengembalian asset pemilik Bank Century dengan berbagai cara sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan berkoordinasi dengan Tim pengawas dari DPR agar percepatan itu bisa dilakukan. Sehingga nasabah Antaboga/Century memiliki kepastian dalam pengembalian dana mereka yang digelapkan oleh pemilik century.